Welcome to my blog, enjoy reading.

Unagi

EMPAT BULAN PANEN BELUT

Membesarkan belut hingga siap panen dari bibit umur 1-3 bulan butuh waktu tujuh bulan. Namun, Ruslan Roy, peternak sekaligus eksportir di Jakarta Selatan, mampu menyingkatnya menjadi empat bulan. Kunci suksesnya antara lain terletak pada media dan pengaturan pakan.

Belut yang dipanen Ruslan rata-rata berbobot 400 g/ekor. Itu artinya sama dengan bobot belut yang dihasilkan peternak lain. Cuma waktu pemeliharaan yang dilakukan Ruslan lebih singkat tiga bulan dibanding mereka. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan Ruslan pun jauh lebih rendah. Selain menekan biaya produksi, panen dalam waktu singkat itu mampu mendongkrak ketersediaan pasokan, ujar Ruslan.
Pemilik PT Dapetin di Jakarta Selatan itu hanya mengeluarkan biaya Rp 8.000 untuk setiap kolam berisi 200 ekor. Padahal, biasanya para peternak lain paling tidak menggelontorkan Rp 14.000 untuk pembesaran jumlah yang sama. Semua itu karena Ruslan menggunakan media campuran untuk pembesarannya.

Media campuran

Menurut Ruslan, belut akan cepat besar jika medianya cocok. Media yang digunakan ayah tiga anak itu terdiri dari lumpur kering, kompos, jerami padi, pupuk TSP, dan mikroorganisme stater. Peletakkannya diatur: bagian dasar kolam dilapisi jerami setebal 50 cm. Di atas jerami disiramkan 1 liter mikroorganisma stater. Berikutnya kompos setinggi 5 cm. Media teratas adalah lumpur kering setinggi 25 cm yang sudah dicampur pupuk TSP sebanyak 5 kg.

Karena belut tetap memerlukan air sebagai habitat hidupnya, kolam diberi air sampai ketinggian 15 cm dari media teratas. Jangan lupa tanami eceng gondok sebagai tempat bersembunyi belut. Eceng gondok harus menutupi ¾ besar kolam, ujar peraih gelarMaster of Management dari Philipine University itu.
Bibit belut tidak serta-merta dimasukkan. Media dalam kolam perlu didiamkan selama dua minggu agar terjadi fermentasi. Media yang sudah terfermentasi akan menyediakan sumber pakan alami seperti jentik nyamuk, zooplankton, cacing, dan jasad-jasad renik. Setelah itu baru bibit dimasukkan.

Pakan hidup

Berdasarkan pengalaman Ruslan, sifat kanibalisme yang dimiliki Monopterus albus itu tidak terjadi selama pembesaran. Asal, pakan tersedia dalam jumlah cukup. Saat masih anakan belut tidak akan saling mengganggu. Sifat kanibal muncul saat belut berumur 10 bulan, ujarnya. Sebab itu tidak perlu khawatir memasukkan bibit dalam jumlah besar hingga ribuan ekor. “Dalam 1 kolam berukuran 5 m x 5 m x 1 m, saya dapat memasukkan hingga 9.400 bibit,” katanya.

Pakan yang diberikan harus segar dan hidup, seperti ikan cetol, ikan impun, bibit ikan mas, cacing tanah, belatung, dan bekicot. Pakan diberikan minimal sehari sekali di atas pukul 17.00. Untuk menambah nafsu makan dapat diberi temulawak Curcuma xanthorhiza. Sekitar 200 gram temulawak ditumbuk lalu direbus dengan 1 liter air Setelah dingin, air rebusan dituang ke kolam pembesaran. “Pilih tempat yang biasanya belut bersembunyi,” ujar Ruslan.

Pelet ikan dapat diberikan sebagai pakan selingan untuk memacu pertumbuhan. Pemberiannya ditaburkan ke seluruh area kolam. Tak sampai beberapa menit biasanya anakan belut segera menyantapnya. Pelet diberikan maksimal tiga kali seminggu. Dosisnya 5% dari bobot bibit yang ditebar. Jika bibit yang ditebar 40 kg, pelet yang diberikan sekitar 2 kg.

Hujan buatan

Selain pakan, yang perlu diperhatikan kualitas air. Bibit belut menyukai pH 5-7. Selama pembesaran, perubahan air menjadi basa sering terjadi di kolam. Air basa akan tampak merah kecokelatan. Penyebabnya antara lain tingginya kadar amonia seiring bertumpuknya sisa-sisa pakan dan dekomposisi hasil metabolisme. Belut yang hidup dalam kondisi itu akan cepat mati, ujar Son Son. Untuk mengatasinya, pH air perlu rutin diukur. Jika terjadi perubahan, segera beri penetralisir.

Kehadiran hama seperti burung belibis, bebek, dan berang-berang perlu diwaspadai. Mereka biasanya spontan masuk jika kondisi kolam dibiarkan tak terawat. Kehadiran mereka sedikit-banyak turut mendongkrak naiknya pH karena kotoran yang dibuangnya. Hama bisa dihilangkan dengan membuat kondisi kolam rapi dan pengontrolan rutin sehari sekali, tutur Ruslan.

Suhu air pun perlu dijaga agar tetap pada kisaran 26-28oC. Peternak di daerah panas bersuhu 29-32oC, seperti Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, perlu hujan buatan untuk mendapatkan suhu yang ideal. Son Son menggunakan shading net dan hujan buatan untuk bisa mendapat suhu 26oC. Bila terpenuhi pertumbuhan belut dapat maksimal, ujar alumnus Institut Teknologi Indonesia itu.

Shading net dipasang di atas kolam agar intensitas cahaya matahari yang masuk berkurang. Selanjutnya tiga saluran selang dipasang di tepi kolam untuk menciptakan hujan buatan. Perlakuan itu dapat menyeimbangkan suhu kolam sekaligus menambah ketersediaan oksigen terlarut. Ketidakseimbangan suhu menyebabkan bibit cepat mati, ucap Son Son.

Hal senada diamini Ruslan. Jika tidak bisa membuat hujan buatan, dapat diganti dengan menanam eceng gondok di seluruh permukaan kolam, ujar Ruslan. Dengan cara itu bibit belut tumbuh cepat, hanya dalam tempo 4 bulan sudah siap panen.
Bak itu sekadar tempat singgah. Setelah 1-2 hari dikarantina, belut yang terkumpul itu disortir. Belut kualitas ekspor dipilih berbobot 200-250 g/ekor dan panjang 40-60 cm. Syarat lain: kulit mulus dan lincah bergerak. Belut kemudian dikemas dalam kantong plastik berdiameter 50 cm, lalu diberi 2 liter air. Satu kantong plastik berisi 20 kg. Setelah diberi oksigen, kantong itu diikat dan dimasukkan ke dalam dus ukuran 70 cm x 70 cm x 60 cm untuk keesokan hari diangkut ke bandara.

Ardiyan menerbangkan 4-5 ton/bulan belut ke Singapura, Hongkong, dan Korea. Dengan harga jual US$4,5 atau setara Rp40.950 per kg (kurs 1 US$D=Rp9.100), Ardiyan meraup omzet Rp163,8-juta-Rp204,7-juta/bulan. Setelah dikurangi biaya pembelian belut dari para plasma, ongkos kirim, dan biaya operasional lain, Ardiyan mengutip laba Rp5.000-Rp7.000/kg. Setidaknya Rp20-juta-Rp35-juta mengalir ke koceknya setiap bulan.

Jumlah itu tak seberapa dibanding banyaknya permintaan yang terus mengalir. ‘Singapura minta dipasok 1 ton/hari, Hongkong 5-10 ton/pekan, dan Korea 3 ton/hari,’ tutur alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Solo itu. Beberapa negara Uni Eropa seperti Belanda dan Belgia juga menanti pasokan masing-masing 23 ton dan 20 ton per tahun.

Menurut Pusat Informasi Pasar Asia Pasifik Kedutaan Besar Kanada di Beijing, Cina, selain Hongkong dan Korea, negara konsumen belut lainnya adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Kanada. Jepang terbesar dengan kebutuhan 130.000-140.000 ton/tahun. Pasokan selama ini diperoleh dari Cina. Negeri Tirai Bambu itu dikenal sebagai produsen belut terbesar di dunia. Ia memasok 70% dari total kebutuhan belut dunia yang mencapai 230.000 ton/tahun. Artinya, ceruk pasar belut dunia yang belum terisi sekitar 69.000 ton per tahun. Badan Pusat Statistik mencatat, volume ekspor dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2004, volume ekspor hanya 42.581 kg. Setahun berikutnya melonjak menjadi 106.687 kg.

Permintaan belut tak hanya mengalir dari mancanegara. Ardiyan menuturkan pasar lokal juga menantang. Sentra makanan olahan di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, butuh pasokan 7-8 ton/hari, Solo dan Klaten 8 ton/hari, dan Jakarta 2 ton/hari. Dari jumlah itu baru sekitar 500-700 kg/bulan yang terpenuhi.

Budidaya


Peluang itulah yang kini dikejar Ardiyan. Namun, pasokan yang seret menjadi batu sandungan. Padahal harga beli yang ditawarkan cukup menggiurkan, Rp20.000/kg kualitas ekspor. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga di pasar lokal, Rp9.000-Rp12.000 per kg.

Pasokan seret lantaran Ardiyan mengandalkan belut tangkapan alam. ‘Jumlah peternak belut saat ini masih sedikit,’ katanya. Akibatnya, ketersediaan pasokan bergantung kondisi alam. Pasokan melimpah saat hujan. Saat kemarau sebaliknya. Selain itu, ukuran belut hasil tangkapan alam beragam. ‘Rata-rata hanya 30% yang memenuhi syarat ekspor,’ katanya.

Kurangnya pasokan belut membuat PT Budi Menani Agung, eksportir belut di Jakarta, terpaksa mengurangi frekuensi pengiriman ke Cina. Pengiriman yang semula 3 kali seminggu kini hanya 2 kali. Sekali kirim rata-rata mencapai 1 ton.
Ardiyan berharap kekurangan pasokan itu dapat dipenuhi para peternak. Oleh sebab itulah ia rela mengunjungi berbagai daerah untuk menjaring peternak mitra. Ardiyan pun menjamin menampung hasil panen. Harga belut kualitas ekspor Rp20.000/kg.

Kian ramai

Sejak diekspose Trubus pada September 2006, perbincangan bisnis belut di situsTrubus kian ramai. Begitu juga milis-milis di situs lain. Pelatihan budidaya belut yang diselenggarakan selalu kebanjiran peserta. Bahkan, kini berdiri klub budidaya belut yang anggotanya mencapai 105 orang.

Kisah sukses Sonson Sundoro, Ruslan Roy, Hj Komalasari, dan M Ara Giwangkara juga turut mendorong minat para investor. (baca: Mari Rebut Pasar Belut, Trubus edisi September 2006). Mereka lebih dulu mendulang laba dari belut. Menurut hitung-hitungan Ardiyan, investasi awal untuk pembuatan kolam terpal luasan 6 m x 7 m sekitar Rp890.000. Ditambah biaya produksi Rp1.529.000, total biaya mencapai Rp2.419.000.

Dari 20 kg bibit isi 200-220 ekor/kg, diperkirakan menghasilkan 300 kg setelah 4- 5 bulan pemeliharaan. Dengan harga jual Rp20.000/kg (harga kualitas ekspor), total omzet Rp6-juta. Setelah dikurangi biaya produksi, total keuntungan mencapai Rp3.581.000/musim tebar atau Rp716.200-Rp895.250/bulan. Itu keuntungan di awal investasi. Pada periode tanam berikutnya, laba lebih tinggi yaitu Rp4.471.000V/musim atau Rp894.200-Rp1,1-juta/bulan.

Pantas bila para peternak baru bermunculan di berbagai daerah seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satunya Tjandra Warasto di Parung, Bogor, menggelontorkan ratusan juta rupiah untuk membangun 24 kolam permanen berukuran 5 m x 5 m. Pada September 2006, ia menebar 240 kg bibit. ‘Akhir Maret ini diharapkan sudah bisa dipanen,’ kata pengusaha periklanan itu.

Nun di Boyolali, Jawa Tengah, Muharni juga tergiur menggeluti belut. Lahan seluas 60 m2 di belakang rumah disulap menjadi 8 kolam berukuran 2 m x 3,5 m. Empat di antaranya telah diisi 49 kg bibit. Ibu 2 anak itu memperkirakan akan panen pada Mei 2007.

Di beberapa daerah, kelompok-kelompok pembudidaya belut mulai bermunculan. Dony Fitriandi ST MT, menghimpun 25 peternak di Sragen, Jawa Tengah, untuk mengelola 100 kolam. Arsitek alumnus Universitas Negeri Sebelas Maret itu juga membuat 3 kolam seluas 24 m2. Di Magetan, Jawa Timur, Ardiyan membina plasma yang mengelola 300 kolam.

Sarat kendala


Sayang, pesatnya laju pertumbuhan peternak belut itu tak diimbangi pasokan bibit yang memadai. Menurut pengalaman beberapa peternak, pembibitan belut sulit. Selain itu, hingga kini belum ada penelitian soal perlakuan yang dapat memacu reproduksi belut. Wajar bibit tangkapan alam diburu. Hal itu turut memicu kenaikan harga. ‘Kalau dulu Rp10.000/kg, sekarang rata-rata Rp27.500/kg,’ ujar Hj Komalasari, penyedia bibit di Sukabumi, Jawa Barat.

Bibit alam juga bukan garansi sukses. ‘Dari 100 kg bibit yang ditebar, separuhnya mati,’ kata Catur Budiyanto, peternak di Gunungputri, Bogor. Pengalaman pahit juga dialami Ganjar Ariacipta. Lima belas kilogram bibit yang ditebar di kolam berukuran 3 m x 5 m seluruhnya mati. ‘Mungkin airnya kurang cocok,’ kata peternak di Sadang Serang, Bandung, itu.

Ardiyan menduga, bibit mati akibat penangkapan dengan setrum. Arus listrik menyebabkan belut stres. Kalaupun bertahan hidup, pertumbuhannya pasti terhambat. Oleh sebab itu, pilih bibit yang ditangkap dengan bubu. Media matang juga penting. Cirinya: air di dalam kolam tidak berubah warna dan tidak berbau. Hindari penebaran bibit dalam jumlah besar. Masukkan dulu 1-5 bibit. Bila belut menelusup ke dalam media, pertanda media siap digunakan. Namun, bila beberapa waktu belut tetap di permukaan, media belum matang benar.

Ardiyan menuturkan, teori-teori dan praktek di lapangan seringkali berbenturan. ‘Media yang saya ramu sesuai dengan yang dianjurkan dalam pelatihan. Tetap saja mati,’ kata Catur. ‘Karena itu, peternak mesti berani bereksperimen,’ ujar Ardiyan. Lihat yang dilakukan Wawan, peternak di Bandung. Ia memberi kotoran cacing alias kascing pada media. Alhasil, dari 15 kg bibit berisi 100 ekor/kg, dapat dipanen 75 kg belut berbobot rata-rata 100 g/ekor dalam waktu 4 bulan.

Meski Wawan berhasil, tapi tak mudah memasarkan belut. Rona bahagia di wajah Wawan seketika muram saat eksportir yang berjanji menampung panennya susah ditemui. Khawatir belut-belut itu mati, Wawan melepas ke pasar becek dengan harga Rp11.000/kg. Harga itu jauh lebih rendah ketimbang janji muluk eksportir Rp20.000 kg. ‘Saya hanya mengantongi Rp825.000,’ ujar Wawan.

Oligopsoni

Hasil lacakan Trubus, saat ini baru terdapat 4 eksportir belut: Sonson Sundoro (PT Dapetan Eel Farm, Bandung), Ruslan Roy (PT Dapetin, Jakarta), Ardiyan Taufik (Jakarta dan Solo), dan Hidayat Wijaya (PT Budi Menani Agung, Jakarta). Jumlah eksportir yang masih sedikit itu dikhawatirkan menciptakan kondisi oligopsoni: pemasok bertambah banyak sementara pembeli terbatas. Kondisi itu melemahkan posisi tawar peternak. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila kelak pasar jenuh dan jumlah peternak kian bertambah.

Oleh sebab itu, Tjandra tak mau menyandarkan pasar pada para eksportir. Ia giat menciptakan pasar sendiri. Pria 39 tahun itu menampung belut dari para penangkap di seputar Jabodetabek lalu dijual ke pasar lokal. Meski baru beberapa bulan berjalan, kini ia menjual setidaknya 500-1.000 kg/bulan. Dengan begitu, Tjandra berharap pasar belut tetap melaju. (Imam Wiguna/Peliput: Hermansyah)

Media Instan:
Dari Kantong Jadi Belut


Akhir Juli 2006 Chrisno Feryadi menabur 20 kg serbuk kehitaman dalam drum berdiameter 50 cm. Setelah disiram air, lantas diaduk-aduk hingga mirip lumpur. Suspensi itu kemudian didiamkan 2 hari sampai terpecah menjadi dua bagian: endapan serbuk dan air. Saat itu pula 75 bibit belut sepanjang 10-15 cm dimasukkan. Enam bulan kemudian belut-belut itu siap dipanen.

Bobot belut yang dipelihara di drum itu rata-rata 200 g/ekor, sama dengan budidaya di kolam. Yang berbeda lama pemeliharaan. Belut di drum perlu waktu 2,5 bulan lebih lama. Hal itu terjadi karena ruang gerak Monopterus albus itu tidak selonggar bila dipelihara di kolam. Toh hal itu tidak menjadi persoalan.

Sejak 8 bulan lalu Chrisno dapat beternak belut di sembarang tempat. Drum itu hanya satu contoh. Yang agak ekstrim, Ipenk-panggilan akrab Chrisno-pernah mencoba melakukannya di dalam 3 ember plastik berdiameter 25 cm. Hasilnya bibit belut tumbuh besar. Dalam tempo 6 bulan bobotnya mencapai 150 g/ekor

Semua itu berkat serbuk kehitaman andalan Ipenk yang mudah diaplikasi dan ditenteng ke berbagai lokasi. Serbuk itu adalah media instan kering. Karena praktis-tinggal tabur, siram air, tunggu mengendap, lalu tebar bibit-maka banyak peternak di Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah, tertarik. Mereka kagum lantaran bibit belut itu bisa ditebar setelah 2 hari kolam diberi media. Bandingkan dengan cara konvensional. Dari proses pematangan media hingga bibit siap tebar menyita waktu 2-4 minggu.

Ganti komposisi

Racikan media instan pemangkas waktu tebar bibit itu 70% bahan bakunya sama seperti budidaya konvensional. Yang sulit memperoleh bahan baku dari jerami padi, pelepah pisang, pupuk kandang, dan kompos dengan komposisi pas.

Awalnya ayah 2 putra itu merajang jerami padi dan pelepah pisang dengan slicer-semacam pisau-sampai setebal 1 cm. Campuran itu-sebut saja komposisi A-kemudian ditambah campuran pupuk kandang dan kompos-sebut saja komposisi B. Perbandingan antarkomposisi itu dibuat 1:3. Campuran abu-abu kehitaman itu lantas dijemur selama 5 hari berturut-turut hingga kadar airnya sekitar 5%. Tandanya saat diremas tangan langsung hancur layaknya kompos.

Sebanyak 120 kg media perdana itu ditabur pada kolam percobaan berukuran 6 m x 3 m. Di sana ditebar pula 2.700 bibit. Saat dipanen 5 bulan kemudian hanya diperoleh 40%, setara 810 belut yang hidup. Hasil itu jauh dari memuaskan bila dibandingkan budidaya konvensional yang tingkat kematiannya berkisar 30%. ‘Mungkin karena adaptasi bibit alam yang kurang,’ ujar staf sumberdaya manusia PT Garuda Indonesia di Jakarta itu.

Dugaan itu mentah saat ujicoba memakai bibit alam yang sudah beradaptasi di kolam konvensional. Hasilnya tetap tidak memuaskan. ‘Mungkin campuran media yang kurang sesuai,’ pikir Ipenk. Sebab itu pula komposisi media awal itu diubah. Kini komposisi A dibuat perbandingan berbeda. Tidak 1:1, tapi 1:2. Demikian pula komposisi B. Jumlah pupuk kandang dikurangi dan kompos tetap, 1:2.
Campuran itu masih ditambah bekatul dan lumpur kering masing-masing sebanyak 0,4 bagian. ‘Bekatul dipakai sebagai perekat. Pupuk kandang dikurangi karena proses penguraiannya terlalu lama,’ ujarnya. Media itu lantas diberi stater, konsentrat mikroorganisme sebanyak 0,6 bagian. Campuran itu lantas diperam 7-14 hari hingga terfermentasi sempurna. Campuran akhir terlihat seperti serbuk kopi, berwarna hitam pekat. Saat ditaruh di air, serbuk itu tidak mengeluarkan gas amonia.

Saat diuji kembali pada kolam dan jumlah bibit sama, media instan baru itu menuai hasil menggembirakan. Tingkat mortalitas turun hingga di bawah 10%. Bahkan khusus di kolam, bobot 200 g/ekor dapat dicapai dalam tempo 4,5 bulan. Peternak konvensional butuh waktu minimal 6 bulan. ‘Mortalitas pernah mencapai angka nol persen,’ ujarnya.

Terobosan baru


Menurut Dr Ir Ridwan Affandi, DEA, temuan Ipenk itu terobosan baru. ‘Selama ini budidaya konvensional dianggap terbaik,’ ujar peneliti ikan konsumsi dari Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor itu. Ridwan menduga, kecepatan pertumbuhan karena diiringi munculnya pakan alami. ‘Komposisi media itu bisa menumbuhkan cacing, insekta air, protozoa, infusoria, gastrophoda, fitoplankton, dan zooplankton,’ tambah alumnusUniversite De Paris VI di Perancis itu.

Meski demikian menurut Ardyant Taufik, peternak di Solo, sumber pakan alami yang dibentuk media instan tetap perlu disokong pakan alami lain. ‘Pertumbuhan belut akan makin baik jika diberi anakan ikan mas, ikan cetol, bekicot, dan keongmas,’ ujar alumnus Jurusan Hukum, Universitas Muhammadiyah Solo yang sudah menerapkan media instan pada plasmanya itu.

Menurut Ipenk, keunggulan lain dari media instan terletak pada sirkulasi air. ‘Kolam tidak perlu diberi arus,’ ujarnya. Cara konvensional, arus air tetap diperlukan sebagai sumber oksigen terlarut. ‘Oksigen tetap diperoleh asalkan ketinggian air diatur sekitar 3 cm saja,’ tambahnya. Istimewanya lagi pemanfaatan eceng gondok Eichornia crassipessebagai peneduh yang lazim diterapkan peternak konvensional tidak dibutuhkan lagi. Maklum media instan itu sudah dapat melindungi belut dari sengatan matahari.

Upaya keras Chrisno Feryadi menciptakan media instan patut mendapat acungan jempol. ‘Penemuan itu sangat membantu peternak pemula yang selalu kesulitan mendapat bahan baku media,’ ujar Sonson Sundoro, pemilik PT Dapetan, eksportir belut di Bandung. Jadi, mau beternak belut? Siapkan ember, tabur media, siram air, dan cemplungkan belut. Praktis. Media instan menjadi solusi terbaik. (Hermansyah)


Limbah Dongkrak Produksi Belut


Empat ratus lima puluh satu koma enam ton per hari. Itulah volume limbah dari pasar-pasar becek di jakarta timur. Sekitar 70%-nya berupa sayuran dan buah busuk.
Di tangan lenny huang, sayuran dan buah busuk yang sia-sia itu adalah permata. Setelah diolah dan kemudian dicampurkan ke dalam kolam belut ia dapat mendongkrak produksi hingga 2 kali lipat.

Lenny memasukkan 20 kg olahan sayuran dan buah busuk itu ke dalam kolam berukuran 5 m x 5 m. Dari 30 kg bibit yang ditebar, Lenny memanen 200—300 kg belut berbobot rata-rata 100 g/ekor setelah 4 bulan pelihara. Tingkat kelulusan hidup (SR) pun tinggi mencapai 80%. Jelas ini prestasi luas biasa. Peternak rata-rata memperoleh 5 kg belut dengan menebar 1 kg bibit. Nilai SR, 50—60%.

Sayuran dan buah busuk ternyata sumber pakan istimewa bagi belut. ‘Bahan busuk itu tempat tumbuh plankton dan mikroba,’ ujar Lenny. Plankton dan mikroba merupakan pakan alami belut seperti halnya ketika Monopterus albus itu hidup di sawah. ‘Tanpa itu pertumbuhan belut lambat dan tingkat kematian mencapai 100%,’ imbuh petenak sekaligus eksportir di Bandung, Jawa Barat, itu. Pakan yang diberikan hanya cacing Lumbricus sp.

Titik terang muncul setelah 7 tahun Lenny terus-menerus menekuni budidaya belut. ‘Kuncinya tetap memakai pakan alami,’ kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan itu. Nah, untuk bahan baku pakan alami itu dipilih sayuran dan buah busuk karena tersedia melimpah.

Pacu pertumbuhan

Proses pembuatannya sederhana. Mula-mula masing-masing bahan diblender, lalu dicampur dengan perbandingan 1:1. Campuran itu kemudian ditambah urine ternak yang berguna memperkaya nitrogen dan menaikkan unsur hara lain di tanah. Selanjutnya ditambahkan air mineral dan peram selama 24 jam. Keesokan hari seember, setara 20 l, larutan itu ditaburkan ke kolam yang sudah ditebar bibit belut 3—4 hari sebelumnya. Dalam waktu seminggu belut akan terlihat aktif mencari pakan. Campuran ramuan itu diberikan setiap hari.

Keandalan formula pemacu produksi Lenny dibuktikan oleh Ifan Gunawan pada pertengahan 2008. Peternak di Desa Sayana, Kuningan, Jawa Barat, itu menebar larutan ke dalam 2 kolam masing-masing berukuran 5 m x 5 m. Hasilnya, dari 30 kg bibit (sekilo isi 120 ekor) Ifan memanen 300 kg belut berbobot 100 g per ekor. Meski demikian, ‘Ramuan itu hanya tambahan. Pakan utama berasal dari cacing Lumbricus sp,’ ujar pendiri Ciremai Belut Center itu.

Sejatinya pemberian pakan tambahan yang berasal dari limbah telah diterapkan di pembesaran bandeng. Muhidin di Desa Bendungan, Cirebon, Jawa Barat, misalnya, memakai campuran kotoran walet, sayuran, buah-buahan, dan ikan rucah. Setelah bahan dicampur dan dijadikan larutan lantas ditebar ke kolam bandeng seluas 4.000 m2. Hasilnya, ‘Kalau biasanya untuk membesarkan bandeng sekilo isi 10—12 ekor butuh waktu 5—6 bulan, dengan penambahan larutan organik cukup 43 hari,’ tutur Muhidin.

Menurut Dr Hardaningsih, dosen Perikanan Universitas Gadjah Mada, limbah menumbuhkan zooplanton dan hewan kecil yang berguna sebagai pakan alami. Namun, ‘Pakan alami akan efektif bila budidaya belut dilakukan di kolam kecil,’ ucap Hardaningsih. Musababnya, di kolam kecil ketersediaan pakan alami lebih terkontrol.
Pantas Ade Sumiarti, pembesar di Salabintana, Sukabumi, Jawa Barat, getol memberikan hewan kecil berupa belatung ke kolam-kolam belutnya. Belatung diperoleh dengan membungkus ikan asin curah dalam kantong plastik. Kantong plastik yang telah disangga sebatang bambu itu ditaruh di tengah kolam. Pinggiran kantong dilubangi, supaya belatung yang mulai membesar dan bergerak-gerak gampang jatuh ke kolam.

Lumpur sawah


Pertumbuh belut juga tergantung pada media. Media tumbuh harus matang benar sehingga tidak mengeluarkan amonia. Lenny memakai campuran jerami, lumpur sawah, dan pupuk NPK. Batang pisang tidak wajib, karena untuk sampai benar-benar mengalami fermentasi sempurna butuh waktu 6 bulan. Begitu pula kotoran sapi. Untuk mematangkan media cukup dicampur larutan mikroorganisme seperti EM4 dan Dectro sebanyak 1/4 l. Dalam waktu sebulan media siap dipakai.

Menurut Lenny yang terpenting untuk media belut adalah menggunakan lumpur sawah, bukan tanah berpasir. Itu karena lumpur sawah kaya unsur hara seperti nitrogen dan kalium. Tanah merah dapat dipakai setelah teksturnya diubah mirip lumpur. Caranya, ‘Tanah dicampur mikroba dan jerami busuk, lalu didiamkan selama sebulan atau terasa lunak saat digenggam,’ ucap Lenny.

Pertumbuhan belut akan lebih bagus bila kolam dikondisikan seperti habitat aslinya—di sawah-sawah atau rawa. Oleh karena itu Lenny menanam padi di setiap kolam yang nantinya akan berfungsi pula sebagai tempat tumbuh plankton. Jangan ditumpangsarikan dengan eceng gondok, sebab akan menghambat pertumbuhan plankton dan media mengeras.

Selain media, bibit yang ditebar harus sehat. Karena itu selama 3—4 hari sebelum ditebar bibit seukuran pensil dikarantina dalam kolam air bersih. Selama masa karantina bibit diberi campuran putih telur dan perasan rimpang kunyit setiap 2 hari. Tujuannya untuk menambah stamina. Setiap hari 100% air diganti agar kotoran terbuang.

Lokasi kolam turut menentukan pertumbuhan belut. ‘Sebaiknya dekat sumber air,’ ujar Lenny. Mesti belut dapat hidup dalam kolam tertutup alias tidak ada sirkulasi air, pertumbuhan maksimal bila kolam diberi sirkulasi air. Musababnya, air masuk mendorong kotoran dan sisa pakan ke luar kolam; air baru menambah oksigen terlarut. Semua itu akhirnya meningkatkan nafsu makan belut.

Sortir

Setelah 2 bulan dipelihara belut-belut disortir untuk mencegah kanibalisme. Harap mahfum, tingkat keseragaman belut rendah. Sortir dapat menekan kematian akibat kanibalisme yang mencapai 40—50%. Dengan sortir, ‘Dari 3.000 bibit yang ditebar total kematian sampai panen 240—360 ekor setara 8—12%,’ kata Ifan yang rata-rata menebar 120 bibit/m2

Sortir pun efektif untuk memisahkan telur-telur dalam kolam. Maklum, selama pemeliharaan ada saja belut memijah. Telur-telur itu selanjutnya bisa dijadikan bibit. Dengan menerapkan serangkaian cara itu setiap 4 bulan Lenny dapat memenuhi permintaan ekspor sebanyak 5 ton ke China dan

Belut: Pilihan di Lahan Sempit


Setiap ahad sejak 2006 Warsim memiliki aktivitas baru di luar kesibukan menjaga kios telepon selulernya di Pasar Jatitujuh, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ia rajin menyambangi los ikan di pasar itu, bercakap-cakap dengan satu-satunya penjaja belut di sana. Hasilnya, pada Februari 2009, Warsim memanen 75 kg belut senilai Rp1,2-juta dari kolam seluas 10 m2.

Sebelumnya, selama 3 tahun berturut-turut Warsim memantau pergerakan harga Monopterus albus. Kesimpulan: harga terus naik. Warsim mencatat sampai awal 2008 sekilo belut isi 10-20 ekor menjangkau harga Rp22.000-Rp25.000; 2006-2007, Rp15.000-Rp18.000/kg. Namun, belut tangkapan alam di lapak pedagang yang mengecer 60-80 kg/minggu itu tidak selalu tersedia.

Bujangan 25 tahun itu tanggap menangkap peluang ini. Bermodalkan Rp600.000 pada penghujung Oktober 2008 ia membuat sebuah kolam terpal berukuran 2,5 m x 4 m, berjarak 4 m dari pinggir rumah. Kolam itu ditaburi media batang pisang setebal 5 cm, 15 cm tanah, dan 10 kg kotoran kambing. Selanjutnya kolam diisi air setinggi 80 cm. Bibit sebanyak 12 kg dicemplungkan 2 minggu kemudian. Pertama 8 kg isi 100-112 ekor per kg, sepekan berikutnya 4 kg isi 80-90 ekor per kg. Hanya campuran yuyu alias kepiting kecil dan cacahan keong mas, 1 kg/hari, untuk pakan selama 4 bulan masa budidaya.

Trubus menyaksikan Warsim memanen masing-masing 23 kg isi 4-5 ekor/kg, 35 kg isi 7-8 ekor/kg, dan 10 kg isi 70-80 ekor/kg, sisa 10 ekor yang berbobot 0,6-1 kg. Total jenderal diperoleh 75 kg. Setelah dipilah ulang, 60 kg langsung dijual ke pengepul Rp20.000/kg. Sisanya, 15 kg terdiri atas belut yang luka dan berukuran kecil sepanjang 10-15 cm dibagi-bagikan pada tetangga sekitar rumah.

Nun di Sukabumi, Jawa Barat, dan Balaraja, Provinsi Banten, Ade Sumiyati dan Sunarto tengah menanti panen. Mereka berencana membobol kolam pada Mei 2009. Ade memiliki 10 kolam masing-masing berukuran 1,2 m x 2,5 m. Pada tiap-tiap kolam ia menebar 5 kg bibit. Staf tata usaha BPK Penabur di Sukabumi itu berasumsi memanen 50 kg/kolam. Pun Sunarto yang membenamkan masing-masing 40 kg bibit di 6 kolam berukuran 5 m x 5 m pada Desember 2008. Tenaga ahli pembuat aksesori motor itu berharap memanen 1:5. Artinya sekilo bibit menghasilkan 5 kg belut selama 4 bulan pemeliharaan. Andai prediksi Sunarto tepat, dengan harga eceran terendah Rp20.000/kg, ia bakal mengantongi omzet Rp24-juta;Ade, Rp10-juta.

Bertumbangan


Sejak marak dipublikasikan di berbagai media nasional dan milis sepanjang 2006-2007 peternak belut tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka menyebar di Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan. Data yang dihimpun Trubus menunjukkan pada 2007 paling tidak terdapat 150-200 pembudidaya belut. Namun, sekitar 80% peternak terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Iming-iming pasar besar dan modal kecil menjadi magnet bagi peternak. Sumber Trubus di Solo, Jawa Tengah, menguraikan tingginya permintaan pasar ekspor. Ia menyebutkan Singapura butuh 1 ton/hari; Hongkong 5-10 ton/ minggu; dan Korea 3 ton/hari. Pasar lokal? Pulau Jawa minimal menyerap 100 ton/bulan. Volume itu sampai detik ini belum terlayani. Memang dibanding lele, volume itu tak berarti. Kebutuhan pasar lele Jakarta, misalnya, mencapai 75 ton/hari. 'Belut belum menjadi habit atau kebiasaan seperti lele yang dinikmati segala lapisan,' ujar Kafi Kurnia, konsultan pemasaran agribisnis di Jakarta.

Budidaya belut tidak menyedot biaya besar. Apalagi untuk skala kecil, 1-2 kolam seluas 10-15 m2. Menurut hitung-hitungan Darmin, peternak di Kecamatan Karangsuwung, Cirebon, sebuah kolam plastik seluas 1,8 m x 4,5 m berikut 7 kg bibit, menelan biaya Rp350.000; kolam terpal Rp450.000. 'Karena biayanya murah makanya saya beternak belut,' kata mekanik listrik di perusahaan gula, PG Karangsuwung itu. Ade Sumiyati yang disebut di atas hanya mengucurkan modal Rp3-juta untuk 10 kolam.

Namun, belakangan daya tarik beternak belut agak meredup. Menginjak periode 2007-2008 jumlah peternak terus menyusut. Contoh Gabungan Orang Belut Semarang (GOBES). Sejak berdiri pada 2007 dengan 25 anggota, bersisa 5 peternak pada 2008. 'Yang lain mundur karena gagal. Mereka belum mau melanjutkan lagi,' ujar Budi Kuncoro SPi, ketua GOBES. Sedikit bergeser dari Semarang, di Kendal, Comunitas Peternak Belut Kendal (CPBK) menyisakan 30 dari 70 anggota di awal 2008. 'Budidaya belut tidak segampang yang digembar-gemborkan,' kata Muhammad Nuh, ketua CPBK. Nuh pernah memanen 5 kg dari 15 kg bibit selama 6 bulan budidaya.

Yang bermodal kuat ikut pula terjengkang. Chandra Warasto, misalnya, merugi Rp200-juta. Tahun lalu ia memutuskan menutup usaha ternak belut yang dibangunnya sejak 2006. Menurut pengusaha periklanan di Jakarta itu dari 24 kolam semen berukuran 5 m x 5 m yang masing-masing ditebar 30-40 kg bibit selama 4-6 bulan, budidaya tidak menunjukkan kemajuan berarti. 'Begitu dipanen belutnya sedikit, hanya belasan ekor per kolam. Ukuran belut cuma bertambah panjang, rata-rata seukuran jempol dari sekelingking orang dewasa,' katanya. Padahal pada 2007 pembeli asal Korea ingin melihat langsung kondisi farmnya sekaligus meneken kontrak ekspor.

Media

Apa sebenarnya yang terjadi? Ahmad Sarkan, konsultan belut di Kuningan, Jawa Barat, menuturkan boleh jadi peternak abai mencermati media, pakan, dan bibit. 'Salah satu bagian tidak berjalan baik kegagalannya besar,' katanya. Media, misalnya, sejauh ini belum ada komposisi yang pas. Padahal bahan dasarnya berkisar lumpur sawah, jerami, dan batang pisang. 'Peternak memang dituntut terus mencoba atau belajar dari yang berhasil,' kata Ifan Gunawan dari Ciremai Belut Center di Kuningan, Jawa Barat.

Memakai komposisi 40% lumpur, 40% batang pisang, dan 20% jerami, Budi Kuncoro hakul yakin dapat membesarkan belut. Di lain pihak Ade Sumiyati menggunakan 80% lumpur dan 20% gedebong pisang. Sunarto memilih berbagai komposisi media: 20% lumpur dan 80% batang pisang, 100% lumpur, serta 50% lumpur dan 50% bokashi. Ada pula peternak memakai 80% lumpur, 10% batang pisang, dan 10% jerami. Yang spektakuler dilakukan Suparmo di Balaraja, Provinsi Banten, menggunakan media jamur.

Sejauh ini belum terlihat komposisi terbaik karena rata-rata pemakainya belum melakukan panen sesungguhnya. 'Semua akan jelas hasilnya setelah diangkat. Ini karena pertumbuhan belut tidak bisa dilihat mata, berbeda dengan ikan di akuarium,' kata Ade Sunarma, MSi, periset Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi, Jawa Barat.

Media matang juga penting. Ini dicirikan oleh air di kolam tidak berubah warna dan tidak berbau. Media akan sempurna setelah difermentasi 2 bulan. Kenyataan, banyak peternak membenamkan belut saat umur peram media baru 1-2 minggu. Walhasil kematian belut melonjak 90%. 'Belut-belut mati karena media masih mengeluarkan gas metana. Ini pula yang membuat peternak di kelompok kami banyak gagal,' kata Budi.
Menurut peternak di kaki Gunung Salak, Bogor, Ir Johny Siahaan, urusan bibit tidak kalah pelik. Johny yang memiliki 5 kolam masing-masing berukuran 5 m x 5 m mempunyai pengalaman buruk. Dari tebar 30 kg bibit di sebuah kolam, semuanya mati dalam tempo 2 minggu. Johny menduga bibit-bibit itu mengalami stres akibat perjalanan. Beruntung ia menemukan solusinya: mengkarantina bibit.

Bibit-bibit itu ditaruh dalam bak berisi campuran air dari asal bibit dan kolam baru. 'Perbandingan air cukup 1:2,' katanya. Nah, bila bibit tampak berenang, tidak berdiri, tanda bibit siap untuk dibenamkan di kolam. Dengan cara ini tingkat kematian hanya 1-2%. Padahal di peternak lain mortalitas bibit mencapai 10-15%. 'Menurut penyedia bibit, 10% kematian masih normal,' ujar Suparmo. Padahal bila minimal ditebar 40 kg bibit seharga Rp35.000/kg, misalnya, belum apa-apa peternak sudah menuai kerugian Rp140.000 (kematian 10%).

Menurut Ir Ign Hardaningsih MSi, staf pengajar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM, bibit-bibit belut budidaya masih dari alam. 'Belum ada formulasi pas untuk membenihkan,' ujar kandidat doktor embriologi perkembangan itu. Namun, Ahmad Sarkan mengaku dapat 'membibitkan' meskipun terhitung alami. Ia menebar 1 ton induk belut alam di banyak kolam. Dari sana bibit-bibit itu muncul. 'Dengan cara ini saya dapat menyediakan 5 kuintal bibit per minggu,' kata Ahmad.

Sebagian besar peternak masih mengandalkan pakan alami yang tercipta dari media. Ini yang disinyalir membuat belut tumbuh lambat, bahkan mendorong kanibalisme. Menurut Nurani Sutjiatmaja pakan luar mutlak diberikan. 'Saya memberi cacing, ayam, yuyu, dan kodok untuk pakan,' ujar peternak yang mengelola 7 kolam rata-rata berukuran 5 m x 7 m di Cimahpar, Bogor, itu. Hal ini dirasakan membebani sebagian besar peternak.

'Harga cacing cukup mahal sekitar Rp50.000/kg,' ujar Warsim. Padahal bila benar-benar intensif seperti budidaya yang dilakukan Nurani, kebutuhan cacing selama budidaya 4 bulan mencapai 300 kg. 'Sekarang tinggal pilih mau belut cepat besar atau tidak,' kata pengusaha trading pupuk di Jakarta Selatan yang menggelontorkan biaya pakan hingga Rp7,2-juta/3 bulan budidaya. Pilihan lain seperti Ifan Gunawan dengan membudidayakan cacing Lumbricus tiger memakai media antara lain ampas tahu dan kotoran sapi. 'Biayanya jauh lebih murah,' katanya.
Pasar terbentang

Andaikan semua aral bisa diatasi peternak, pasar terbuka lebar. Contoh Komalasari. Sementara banyak perempuan jijik pada satwa mirip ular dan tinggal di lumpur itu, pengolah belut di Desa Pasirhalang, Sukaraja, Sukabumi, itu kelimpungan memenuhi kebutuhan hingga 6 ton/bulan; terpenuhi 2-3 ton. Padahal mitra pemasoknya meroket hingga 25 kelompok (250 anggota) pada 2009 dari sebelumnya 18 kelompok (100-an anggota) pada 2003.

Menurut Komalasari 90% kebutuhan belut terserap untuk olahan. Maklum pembina PKK setempat itu memproduksi 13 olahan belut seperti abon, dendeng, dan balado. Setiap kali mengolah ia memerlukan 100-200 kg/hari. Pengamatan Trubus di gerai pasar swalayan dan rumah makan menunjukkan indikasi minim pasokan. Tiga hipermarket besar di bilangan Margonda, Depok, Jawa Barat, seringkali kehabisan belut segar dan olahan filet seharga Rp55.000/kg hingga berhari-hari.

Di Malang, RM Belut Surabaya, misalnya, menyerap 25-30 kg belut/hari. Namun, akhir pekan saat kebutuhan melonjak 2 kali lipat, barang tidak tersedia. Pun di sentra olahan belut, Pasar Godean, Yogyakarta. 'Untuk mendapat 50 kg/minggu bahan susah. Apalagi musim kemarau, bisa dapat 10 kg/minggu sudah bagus,' kata Desi, pedagang. Padahal di Godean terdapat sekitar 10 pedagang dengan tingkat kebutuhan serupa
Ahmad Sarkan pusing tujuh keliling melayani kebutuhan 10 bandar yang masing-masing meminta 5 kuintal/minggu. Padahal ia sudah menggaet mitra lewat Paguyuban Belut Nasional, beranggotakan sekitar 300 orang dengan 10% peternak aktif. Pun Juwahir, pengepul di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, yang nyaris angkat tangan menangani permintaan 5 ton/minggu.

Dengan kondisi ini sebenarnya peternak sangat diuntungkan. Apalagi jika jeli menahan barang hingga memasuki musim kemarau, sekitar April-Agustus, saat pasokan belut alam menurun. Ketika itu harga belut tinggi. Jika musim hujan paling rendah Rp20.000/kg; kemarau Rp35.000-Rp40.000/kg.

Pasar ekspor tetap menggiurkan. Data lalulintas komoditas belut Pusat Karantina Ikan DKP menunjukkan volume ekspor nasional monopterus terus melambung. Pada kurun April-Desember 2007 tercatat 976 kg dan Januari-Desember 2008, 4.249 kg. Malaysia menjadi negara tujuan ekspor terbesar (80%) di luar Hongkong.

Menurut Sunarto permintaan ekspor dari Jepang dengan tingkat konsumsi di atas 5.000 ton/bulan mulai berdatangan. Musababnya China, salah satu sumber bahan baku unadon-makanan belut khas Jepang-tengah dirundung masalah akibat ditemukan residu pada ekspor belutnya. 'Mereka ke sini minta filet,' kata Sunarto yang tengah bernegosiasi.

Ia mematok harga 1.500 yen setara Rp120.000/kg filet. Volumenya? untuk periode Januari-Maret dan April-Agustus pembeli meminta masing-masing 4 ton dan 8 ton. Standar belut: panjang 30 cm dan ketebalan daging 8 mm.
Belut memang memberi impian besar. Beternak menjadi solusi keterbatasan pasokan belut alam. Itu yang dilakukan Warsim saat mantap mendulang rupiah dari beternak belut di halaman rumah. (Dian Adijaya S/Peliput: Karjono, Lastioro Anmi T, Tri Susanti, Faiz Yajri, dan Rosy Nur A)

Mari Rebut Pasar Belut

Siang itu Juli 2006 di Batutulis, Bogor. Pancaran matahari begitu terik membuat Ruslan Roy berteduh. Ia tetap awas melihat kesibukan pekerja yang memilah belut ke dalam 100 boks styrofoam. Itu baru 3,5 ton dari permintaan Hongkong yang mencapai 60 ton/hari, ujar Ruslan Roy.

Alumnus Universitras Padjadjaran Bandung itu memang kelimpungan memenuhi permintaan belut dari eksportir. Selama ini ia hanya mengandalkan pasokan belut dari alam yang terbatas. Sampai kapan pun tidak bisa memenuhi permintaan, ujarnya. Sebab itu pula ia mulai merintis budidaya belut dengan menebar 40 kg bibit pada Juli 1989.
Roy-panggilan akrab Ruslan Roy-memperkirakan seminggu setelah peringatan Hari Kemerdekaan ke-61 RI semua Monopterus albus yang dibudidayakan di kolam seluas 25 m2 itu siap panen. Ukuran yang diminta eksportir untuk belut konsumsi sekitar 400 g/ekor. Bila waktu itu tiba, eksportir di Tangerang yang jauh-jauh hari menginden akan menampung seluruh hasil panen.

Untuk mengejar ukuran konsumsi, peternak di Jakarta Selatan itu memberi pakan alami berprotein tinggi seperti cacing tanah, potongan ikan laut, dan keong mas. Pakan itu dirajang dan diberikan sebanyak 5% dari bobot tubuh/hari.

Dengan asumsi tingkat kematian 5-10% hingga berumur 9 bulan, Roy menghitung 4-5 bulan setelah menebar bibit, ia bakal memanen 400 kg belut. Dengan harga Rp40.000/kg, total pendapatan yang diraup Rp16-juta. Setelah dikurangi biaya-biaya sekitar Rp2-juta, diperoleh laba bersih Rp14-juta.
Keuntungan itu akan semakin melambung karena pada saat yang sama Roy membuat 75 kolam di Rancamaya, Bogor, masing-masing berukuran sekitar 25 m2 berkedalaman 1 m. Pantas suami Kastini itu berani melepas pekerjaannya sebagai konsultan keuangan di Jakarta Pusat.

Perluas areal

Nun di Bandung, Ir R. M. Son Son Sundoro, lebih dahulu menikmati keuntungan hasil pembesaran belut. Itu setelah ia dan temannya sukses memasok ke beberapa negara. Sebut saja Hongkong, Taiwan, Cina, Jepang, Korea, Malaysia, dan Thailand. Menurut Son Son pasar belut mancanegara tidak terbatas. Oleh karena itu demi menjaga kontinuitas pasokan, ia dan eksportir membuat perjanjian di atas kertas bermaterai. Maksudnya agar importir mendapat jaminan pasokan.

Sejak 1998, alumnus Teknik dan Manajemen Industri di Institut Teknologi Indonesia, itu rutin menyetor 3 ton/hari ke eksportir. Itu dipenuhi dari 30 kolam berukuran 5 m x 5 m di Majalengka, Ciwidey, Rancaekek, dan 200 kolam plasma binaan di Jawa Barat. Ia mematok harga belut ke eksportir US$4-US$5, setara Rp40.000-Rp60.000/kg isi 10-15 ekor. Sementara harga di tingkat petani plasma Rp20.000/kg.


Permintaan ekspor belut

Negara Tujuan Kebutuhan (ton/minggu)
Jepang 1.000
Hongkong 350
Cina 300
Malaysia 80
Taiwan 20
Korea 10
Singapura 5

Sumber: Drs Ruslan Roy, MM, Ir R. M. Son Son Sundoro, www.eelstheband.com, dan telah diolah dari berbagai sumber.

Terhitung mulai Juli 2006, total pasokan meningkat drastis menjadi 50 ton per hari. Itu diperoleh setelah pria 39 tahun itu membuka kerjasama dengan para peternak di dalam dan luar Pulau Jawa. Sebut saja pada awal 2006 ia membuka kolam pembesaran seluas 168 m2 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Di tempat lain, penggemar travelling itu juga membuka 110 kolam jaring apung masing-masing seluas 21 m2 di waduk Cirata, Kabupaten Bandung. Total jenderal 1-juta bibit belut ditebar bertahap di jaring apung agar panen berlangsung kontinu setiap minggu. Dengan volume sebesar itu, ayah 3 putri itu memperkirakan keuntungan sebesar US$2.500 atau Rp 20.500.000 per hari.
Di Majalengka, Jawa Barat, Muhammad Ara Giwangkara juga menuai laba dari pembesaran belut. Sarjana filsafat dari IAIN Sunan Gunungjati, Bandung, itu akhir Desember 2005 membeli 400 kg bibit dari seorang plasma di Bandung seharga Rp11,5- juta. Bibit-bibit itu kemudian dipelihara di 10 kolam bersekat asbes berukuran 5 m x 5 m. Berselang 4 bulan, belut berukuran konsumsi, 35-40 cm, sudah bisa dipanen.

Dengan persentase kematian dari burayak hingga siap panen 4%, Ara bisa menjual sekitar 3.000 kg belut. Karena bermitra, ia mendapat harga jual Rp12.500/ kg. Setelah dikurangi ongkos perawatan dan operasional sebesar Rp9- juta dan pembelian bibit baru sebesar Rp11,5- juta, tabungan Ara bertambah Rp17-juta. Bagi Ara hasil itu sungguh luar biasa, sebab dengan pendapatan Rp3- juta- Rp4-juta per bulan, ia sudah bisa melebihi gaji pegawai negeri golongan IV.

Bibit meroket

Gurihnya bisnis belut tidak hanya dirasakan peternak pembesar. Peternak pendeder yang memproduksi bibit berumur 3 bulan turut terciprat rezeki. Justru di situlah terbuka peluang mendapatkan laba relatif singkat. Apalagi kini harga bibit semakin meroket. Kalau dulu Rp10.000/kg, sekarang rata-rata Rp27.500/kg, tergantung kualitas, ujar Hj Komalasari, penyedia bibit di Sukabumi, Jawa Barat. Ia menjual minimal 400-500 kg bibit/bulan sejak awal 1985 hingga sekarang.

Pendeder pun tak perlu takut mencari pasar. Mereka bisa memilih cara bermitra atau nonmitra. Keuntungan pendeder bermitra: memiliki jaminan pasar yang pasti dari penampung. Yang nonmitra, selain bebas menjual eceran, pun bisa menyetor ke penampung dengan harga jual lebih rendah 20-30% daripada bermitra. Toh, semua tetap menuai untung.

Sukses Son Son, Ruslan, Ara, dan Komalasari memproduksi dan memasarkan belut sekarang ini bak bumi dan langit dibandingkan 8 tahun lalu. Siapa yang berani menjamin kalau belut booming gampang menjualnya? ujar Eka Budianta, pengamat agribisnis di Jakarta.

Menurut Eka, memang belut segar kini semakin dicari, bahkan harganya semakin melambung jika sudah masuk ke restoran. Untuk harga satu porsi unagi-hidangan belut segar-di restoran jepang yang cukup bergengsi di Jakarta Selatan mencapai Rp250.000. Apalagi bila dibeli di Tokyo, Osaka, maupun di restoran jepang di kota-kota besar dunia.

Dengan demikian boleh jadi banyak yang mengendus peluang bisnis belut yang kini pasarnya menganga lebar. Maklum pasokan belut-bibit maupun ukuran konsumsi-sangat minim, sedangkan permintaannya membludak. (Hermansyah/Peliput: Lani Marliani)

Berkat Lumpur

Betul saja. Tak sampai 30 tahun berikutnya, bayi itu sudah jadi besar. Jadi pemberani. Ia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mendapatkan master untuk kesehatan perempuan dari Universitas Melbourne, Australia. Itulah hubungan terdekat kami dengan belut atau lindung yang banyak muncul setelah hujan siang. Percaya atau tidak, seekor belut telah ikut membesarkan putri sulung tercinta.

Di Indonesia ada tiga macam belut. Pertama, Monoterus albus atau belut sawah, seperti yang banyak dibudidayakan di Cianjur dan Sukabumi. Kedua, belut kali atau belut laut Macrotema caligans, seperti yang banyak menambah
pendapatan warga Musibanyuasin, Sumatera Selatan. Ketiga, belut rawa-rawa Synbranchus bengalensis. Mungkin jenis itulah bermunculan di daerah bekas rawa seperti Tanjungpriok, sehabis hujan pada akhir 1970-an itu.

Lepas dari ketiga jenis itu, belut mulai banyak menolong ekonomi Indonesia sejak awal 1990-an. Hajah Komalasari, warga Kampung Sukaraja, Sukabumi, memulai bisnis belut dengan modal dari program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga. Sementara banyak perempuan geli pada hewan mirip ular yang licin dan suka tinggal di lumpur itu, Komalasari justru menyukainya. Dengan bantuan 20 orang petani, ia mengawali peternakan dan pengolahan belut.

Hasilnya? Sekarang sudah melakukan diversifi kasi produk belut lebih dari 13 macam. Ada dendeng belut, belut balado, belut tepung, pepes belut, abon belut, belut luntung nugget, steak belut, dan belut untuk obat. Belut jamu ini dimaksudkan untuk kesehatan, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Daging belut dipercaya bisa menambah darah, memperkuat stamina, menghilangkan sakit pinggang, dan mencegah lever.

Komalasari sekarang membina 6 kelompok tani dengan anggota 185 peternak belut. Setiap hari ia mengolah setidaknya 1 kuintal, yang dibeli dari petani dengan harga Rp10.000 per kilogram. Olahannya telah menembus pasar Dubai dan Singapura. Jangan heran bila Anda mendapat oleh-oleh dendeng belut dengan harga Rp90.000 per kilogram! Harga itu lebih mahal daripada dendeng ikan mujair yang tak sampai Rp40.000. Selain itu ada juga abon belut dengan harga Rp70.000 per kilogram.

Lebih dari itu, hampir di setiap warung di sepanjang Jalan Sukabumi?Cianjur, menjual keripik belut, dengan berbagai merek tiruan: Komalasari Asli. Setelah sukses, biasanya banyak yang mengikuti. Ini berlaku untuk soto kambing, ayam goreng, semua produk makanan dan minuman.

Jaya di lumpur


Angkatan Laut mengenal semboyan, jalesveva jaya mahe?di samudera kita jaya. Kalau Anda pedagang belut, tentunya: justru di lumpur kita jaya! Tahukah Anda berapa besar volume perdagangan belut kita? Di Palembang, ada dua pengepul belut yang terkenal. Sukbah H. Jamil di Jalan Mesjid Ogan dan Ahmad Susanto di Jalan Batanghari. Mereka dikenal sebagai eksportir, yang telah merambah banyak negeri seperti Hongkong, Jepang, Cina, Singapura, dan Korea.

Belut hasil buruan petani dihargai Rp9.000?Rp12.000 per kilogram. Sedangkan harga jual di Tokyo bisa mencapai US$10 tiap kilogram. Masing-masing setiap hari, paling sedikit bisa mengirimkan 5 kuintal. Pada saat kebutuhan memuncak, bisa mencapai 3 ton. Kepala Bank Rakyat Indonesia (BRI) setempat, yang pernah mengucurkan modal Rp170-juta untuk Sukbah percaya bahwa potensi belut Sumatera Selatan masih dapat dilipat-gandakan.

?Nanti, kalau Palembang punya bandara internasional, dan ada jalur penerbangan langsung ke Tokyo dan Hongkong, ekspor belut Pak Sukbah dapat ditingkatkan lebih banyak lagi,? katanya. Selama ini dari Palembang belut dikirim dulu ke Jakarta, baru diteruskan ke Seoul, Tokyo, Hongkong, dan seterusnya.

Oleh karena itu, jangan heran kalau mendapat laporan statistik bahwa Jakarta bisa melahap 5 ton belut dalam sehari. Para petani belut di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selalu mengeluh tak cukup memuaskan permintaan belut dari Jakarta. Padahal, kebutuhan setempat harus diakui sedikit sekali. Sukbah juga bilang, tetangganya di Palembang tidak tertarik untuk mengkonsumsi belut sendiri.

Itulah sebabnya, aman-aman saja penampungan belut di bak depan rumahnya. Belut hasil tangkapan ditampung dalam bak, dibersihkan dan baru dikemas untuk ekspor. Berbeda dengan produksi belut di Sumatera Selatan yang masih tergantung pada hasil buruan, di Jawa Tengah dan Yogya, hampir seluruhnya produk budidaya. Berbagai pelatihan beternak belut dapat diikuti secara teratur. Koperasi Usaha Cipta Mandiri di Yogyakarta, misalnya, punya program pelatihan belut di Wisma Taman Eden, Kaliurang.

Koperasi itu mengamati, konsumsi setempat pun cukup tinggi. Di Pasar Godean, Yogyakarta, misalnya, volume perdagangan belut rata-rata 7 kuintal per hari. Jadi tidak mungkin mengandalkan hasil buruan. Apalagi bila musim kemarau tiba, dan belut mulai sukar dicari. Untuk melestarikan perniagaan belut yang harga rata-ratanya Rp10.000 per kilogram, perlu dipergiat upaya peternakannya.

Pelatihnya juga dikenal sebagai pakar belut bertaraf nasional, bahkan internasional. Seorang di antaranya adalah Ir RM Sonson Sundoro. Dia merancang dapat mendorong peternakan belut sebagai industri rumah tangga berkapasitas panen 50 kilogram. Kolam untuk beternak belut terdiri atas beberapa ukuran dengan beberapa fungsi. Tujuannya untuk menghindari sifat kanibalisme. Sudah umum dipahami belut suka memangsa sesamanya. Karena itu perlu kolam induk 200 cm x 400 cm berkedalaman 80 cm. Kolam pemijahan dan pendederan yang lebih kecil tapi lebih dalam: bisa satu meter. Kolam pembesaran mencapai 500 cm x 500 cm berkedalaman 120 cm.

Tempat peternakan belut memang memerlukan pasokan air yang bagus, tanah berlumpur dan subur. Untuk kolam besar (5 m x 5 m), misalnya, perlu dilapisi jerami setebal 40 cm, diselang-seling dengan lumpur tanah 5 cm, pupuk kandang, pupuk kompos, cincangan batang pisang (10 cm), dan lapisan air permukaan 10 cm. Di atas kolam itu, perlu ditutup pula dengan eceng gondok sekitar tiga perempat dari luasannya. Untuk tiap kolam pembesaran ini diperlukan 5 kg Urea dan 5 kg NPK. Setelah itu dibiarkan selama 2 pekan agar tercapai fermentasi.

Sebelum benih ditaburkan, perlu juga dipilih yang berkualitas tinggi. Belut yang bagus: lincah, tidak ada luka di tubuh, berukuran kecil dengan umur 2?4 bulan, warna kuning kecokelatan. Untuk mendapatkan indukan yang bagus pun ada syarat yang harus diperhatikan. Belut jantan sebaiknya berukuran 40 cm, permukaan kulitnya gelap agak kelabu,

bentuk kepalanya tumpul dan berumur sekitar 10 bulan. Sedangkan yang betina panjang 30 cm saat berumur 9 bulan, permukaan kulitnya cerah berwarna putih kekuningan pada perutnya. Bentuk kepalanya runcing.

Pengawasan jantan

Pembiakan belut perlu prasyarat memadai, baik kualitas air, kualitas lumpur, dan pengamanan dari predator alamiahnya. Suhu air ideal 25?31oC. Air bebas pencemaran bahan kimia, tidak beracun, tidak mengandung limbah pabrik, bahan berminyak, dan kaya oksigen. Air yang bersih perlu untuk belut muda. Sedangkan yang telah besar dapat hidup di air keruh.

Perkawinan belut terjadi setahun sekali. Prosesnya dimulai oleh belut jantan dengan membuat lubang berbentuk huruf U, sambil memasang gelembung udara untuk memikat betina. Percintaan mereka di dalam lubang, diikuti oleh taburan telur dari belut betina yang menyerupai busa di bawah gelembung udara. Belut jantan akan mengamankan telur-telur itu dan mengawasinya di alam terbuka selama 9?10 hari. Proses penetasannya di kolam pemijahan selama 12?14 hari. Selama itu pula belut jantan terus mengawasi. Belut-belut kecil yang menetas baru membebaskan diri dari ayah mereka setelah berumur 15 hari, dengan ukuran 1?2 cm.

Secara alami belut memangsa hewan lain yang lebih lemah. Untuk itu mereka membuat lubang berkelok sebagai perangkap. Sedangkan untuk belut ternak, pakan diberikan sepuluh hari sekali. Bisa berupa cacing, kecoak, ulat, belatung, dan daging kelinci sebagai pakan tambahan. Untuk setiap kolam, di Jawa Barat, pada umumnya dapat dipuaskan dengan daging tiga kelinci, selama tiga bulan. Setelah itu belut sudah dapat dipanen.

Berapakah harga keripik belut? Harga di warung-warung, dalam kemasan plastik kecil Rp7.000?Rp30.000. Namun, kalau mau menyantap belut segar, boleh kita coba menikmatinya di restoran jepang. Hidangan belut segar dibakar atau goreng kecap manis disebut unagi. Harga satu porsi unagi di sebuah restoran Indonesia yang cukup bergengsi di Jakarta Selatan, sekitar Rp78.000. Itulah yang saya ingin tawarkan pada putri kami setelah ia pulang dari Australia.

Mahal sekali? Ternyata harga itu belum apa-apa bila dibandingkan dengan satu porsi unagi di restoran di Jepang yang mencapai Rp250.000. Apalagi bila dibeli di Tokyo, Osaka, maupun di restoran jepang di kota-kota besar dunia. Untuk menikmati dua irisan unagi kobayashi (belut segar panggang) itu bisa mencapai US$40 sekali makan. Harga belut termurah di Hongkong masih US$4. Siapa mengira belut itu dipaketkan dari tepi Sungai Musi, berkah lumpur dan hujan?

Belut telah memberi inspirasi pada keluarga kami, sejak ayah mengajarkan menangkap dan membelitkan ke kaki agar anak-cucunya cepat berjalan, pandai berlari, dan lebih pintar. Mungkin benar, mereka yang tidak takut pada belut, menjadi berani, lebih gesit, dan lebih lincah menjalani hidup ini. Fakta membuktikan, lumpur Indonesia pun memberikan berkah yang luar biasa, yaitu belut yang bisa diekspor, dan sangat menyehatkan.

Bagaikan belut pulang ke lumpur, mari kita nikmati dan manfaatkan berkah alam semesta. Selamat menggasak belut balado, kerupuk balado, belut bakar cobek, dan belut jamu produksi Komalasari, maupun dari mana pun di kampung halaman tercinta.***
Pembenihan Belut

PERSYARATAN LOKASI

1) Secara klimatologis ikan belut tidak membutuhkan kondisi iklim dan geografis yang spesifik. Ketinggian tempat budidaya ikan belut dapat berada di dataran rendah sampai dataran tinggi. Begitu pula dengan kelembaban dan curah hujan tidak ada batasan yang spesifik.
2) Kualitas air untuk pemeliharaan belut harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kondisi tanah dasar kolam tidak beracun.
3) Suhu udara/temperatur optimal untukpertumbuhan belut yaitu berkisar antara 25-31 derajat C.
4) Pada prinsipnya kondisi perairan adalah air yang harus bersih dan kaya akan osigen terutama untuk bibit/benih yang masih kecil yaitu ukuran 1-2 cm. Sedangkan untuk perkembangan selanjutnya belut dewasa tidak memilih kualitas air dan dapat hidup di air yang keruh.

PENYIAPAN BIBIT


1) Menyiapkan Bibit
a. Anak belut yang sudah siap dipelihara secara intensif adalah yang berukuran 5-8 cm. Di pelihara selama 4 bulan dalam 2 tahapan dengan masing-masing tahapannya selama 2 bulan.
b. Bibit bisa diperoleh dari bak/kolam pembibitan atau bisa juga bibit diperoleh dari sarang-sarang bibit yang ada di alam.
c. Pemilihan bibit bisa diperoleh dari kolam peternakan atau pemijahan. Biasanya belut yang dipijahkan 40± 30 cm dan belut jantan berukuran ±adalah belut betina berukuran cm.
d. Pemijahan dilakukan di kolam pemijahan dengan kapasitas satu ekor pejantan dengan dua ekor betina untuk kolam seluas 1 m2. Waktu pemijahan kira-kira berlangsung 10 hari baru telur-telur ikan belut menetas. Dan setelah menetas umur 5-8 hari dengan ukuran anak belut berkisar 1,5-2,5 cm. Dalam ukuran ini belut segera diambil untuk ditempatkan di kolam pendederan calon benih/calon bibit.Anak belut dengan ukuran sedemikian tersebut diatas segera ditempatkan di kolam 1 (satu) bulan sampai anak belut±pendederan calon bibit selama tersebut berukuran 5-8 cm. Dengan ukuran ini anak belut sudah bisa diperlihara dalam kolam belut untuk konsumsi selama dua bulan atau empat bulan.
2) Perlakuan dan Perawatan Bibit Dari hasil pemijahan anak belut ditampung di kolam
pendederan calon benih selama 1 bulan. Dalam hal ini benih diperlakukan dengan secermat mungkin agar tidak banyak yang hilang. Dengan perairan yang bersih dan lebih baik lagi apabila di airyang mengalir.

PEMELIHARAAN PEMBESARAN


1) Pemupukan Jerami yang sudah lapuk diperlukan untuk membentuk pelumpuran yang subur dan pupuk kandang juga diperlukan sebagai salah satu bahan organik utama.
2) Pemberian Pakan Bila diperlukan bisa diberi makanan tambahan berupa cacing, kecoa, ulat besar(belatung) yang diberikan setiap 10 hari sekali.
3) Pemberian Vaksinasi
4) Pemeliharaan Kolam dan Tambak Yang perlu diperhatikan pada pemeliharaan belut adalah menjaga kolam agar tidak ada gangguan dari luar dan dalam kolam tidak beracun.

Kiat Melakukan Pembibitan Belut

Untuk membibitkan belut yang diperlukan adalah pengetahuan tentang pemilihan belut untuk dijadikan indukan. Ada yang unik dalam kehidupan sex belut, ada yang beranggapan bahwa antara belut bisa bertukar jenis kelamin.Pada awal tumbuh dewasa, belut akan cenderung untuk berjenis kelamin betina yang mempunyai telur yang siap untuk dibuahi. Setelah terjadi proses alami perkawinan dan telah menetaskan telur makan induk betina tadi otomatis berubah menjadi induk jantan. Tetapi ada juga belut yang akhirnya tidak tumbuh kelamin sehingga disebut belut banci.

Ciri-ciri belut yang sudah bisa dijadikan indukan adalah :
Umur belut sekitar 3-5 bulan.
Agresif dan sangat lincah bergerak.
Tubuh induk harus bersih dan mulus tidak ada luka.
Tubuh keras.

Ciri-ciri belut jantan :
Bentuk kepala tumpul.
Panjang badan lebih dari 30 cm.
Bentuk ekor kurang lancip.
Berumur lebih dari 7 bulan

Ciri-ciri belut betina :
Bentuk kepala runcing.
Panjang badan kurang dari 30 cm.
Bentuk ekor lancip.
Berumur kurang dari 7 bulan.

Untuk melakukan perkawinan, belut mempunyai perilaku yang khas. Jadi perilaku ini harus diamati untuk kesuksesan dalam membibitkan belut. Proses dan tahap belut melakukan reproduksi adalah sebagai berikut :

Biasanya belut dewasa akan saling "menjajaki" pasangannya dengan cara melihat-lihat dan bergerombol. Belut betina akan mencari belut jantan untuk membuahi telur yang sudah siap untuk dikeluarkan dari perutnya.Pada waktu bergerombol itulah nantinya akan ditemukan masing-masing pasangan belut sesuai dengan nalurinya. Biasanya pasangannya tidak terlalu jauh dalam hal ukuran tubuh. Tubuh belut jantan akan sedikit lebih besar dibandingkan dengan tubuh belut betina.

Sebelum pembuahan biasanya belut jantan akan membuat lubang/sarang untuk kawin. Setelah menemukan pasangannya, pasangan itu akan berenang menuju sarng yang sudah dipersiapkan dan perkawinan akan terjadi di tempat ini. Setelah beberapa hari dari proses perkawinan pada permukaan air akan muncul busa berwarna putih kekuningan. Belut betina akan meyimpan telur yang dikeluarkan dari perutnya pada busa tersebut. Setelah mengeluarkan telur belut betina akan pergi mencari makan dengan cara membuat lubang persembunyian dan menunggu mangsanya dari situ. Sedangkan telur yang berda pada busa itu akan ditunggui oleh induk jantan.

Setelah 1-7 hari telur belut akan menetas, selama itu pula busa yang menyimpan telur itu akan bertahan. Selama proses telur sampai menetas menjadi larva, belut jantan akan selalu menjaganya.

Setelah menetas menjadi benih maka benih belut ini harus mencari makan sendiri. Belut termasuk binatang kanibal sehingga sebaiknya jika memelihara belut usahakan mepunyai ukuran yang seimbang supaya kanibalisme bisa ditekan. Jika benih sudah ada sebaiknya dipisahkan dan dibuatkan kolam yang berbeda dengan belut dewasa lainnya.
Belut bisa bereproduksi lebih dari satu kali dalam satu siklusnya. Ini disesuaikan dengan tingkat kesuburan masing-masng induk betina.