Welcome to my blog, enjoy reading.

Aqua Culture

MKA3-Bio Dekomposer

Dalam dunia pertanian ada mainstrem baru tentang konsep organik, atau lengkapnya pertanian organik. Ini artinya apa yang pernah menjadi organ hidup terutama produk sisa panen (limbah sawah) masuk ke sawah sebagai sumber pupuk. Untuk ini dikenal konsep komposting atau bokasi, sebuah model pembuatan bentuk sederhana dari humus. Wacana yang berkembang kemudian, pertanian oragnik adalah pertanian dengan basis kompos.

Tetapi mari kita kritisi. Dibutuhkan jasad renik (mikrooragnisme) untuk membuat kompos. Untuk ini lebih tepat menyebut pertanian organik sebagai pendekatan mikrobiologi untuk pertanian. Ini tidak berlebihan.

Karena di tanah, sebenarnya sudah ada komplek mikroorganisme yang dikenal dengan biota tanah. Peran biota tanah adalah melakukan dekomposisi (penguraian) dan fermentasi (pembusukan). Biota tanahlah yang ”bau rekso” kehidupan dalam tanah.
Kesuburan dan tingkat hasil panen, tergantung kita pintar-pintar mengelola yang ”bau rekso” tanah itu. Sejauh ini petani belum berpikir ke arah itu. Seolah, hasil panen tergantung dari pola garap dan jumlah pupuk yang diberikan. Sejalan dengan ini, pertanian organik bukan pertama-tama menambah kompos tetapi lebih luas dari itu adalah memperkuat basis dari biota tanah (lihat rantai makanan).

Bila di pertanian ada mainstrem dengan pengembangan pola organik, apakah ini juga bisa dikembangkan untuk managemen kolam ikan. Ada kesamaan prisnsip antara kolam ikan dan sawah, baik kebutuhan mikroorganisme probiotik maupun bahan organik (kompos). Jangan lupa, sumber pakan ikan di kolam alam adalah bahan organik, yang kemudian diurai oleh mikroba probiotik menjadi plankton. Dengan analogi sepotong ini, perikanan organik bukan sesuatu yang tidak mungkin.

KEHIDUPAN AIR

Konsep perikanan organik perlu dipikirkan. Karena masalah pokok dalam managemen kolam ikan adalah besarnya biaya untuk memenuhi kebutuhan pakan (kosentrat). Solusi yang paling murah adalah memasukkan bahan organik ke kolam, seperti limbah kandang (ayam, sapi, kerbau, bebek atau kambing) dan limbah sawah. Tetapi memasukkan kotoran sapi atau ayam begitu saja ke kolam, akan membuat ikan malah mati. Harus melalui proses komposting terlebih dulu. Ke depan juga akan dikenal kompos kolam. Jadi tidak hanya kompos untuk pertanian.

Dari percobaan yang dilakukan Dr. Sugeng Hariadi S.Pd, perikanan organik yang dimaksud adalah 1) pemberian mikroorganisme probiotik khusus untuk kolam. 2). Pemasangan bis beton sebagai regulator ekosistem. 3) Penambahan bahan organik (kompos kolam) sebagai substitusi pakan. Di tambah dengan 4) tanaman air untuk meningkatkan pendapatan kolam, lengkaplah apa yang disebut Pola Kolam Dr Sugeng. Konsep ini mengacu pada penataan ekosistem untuk managemen kolam ikan. Pola kolam ini - pengalaman pengkolam di jombang dan sekitarnya – selain mudan dan murah, menjamin hasil yang melimpah

Khusus untuk bahan organik yang dimasukkan kolam. Biarkan terendam di kolam paling tidak 2 (dua) minggu. Pada prinsipnya tunggu sampai Ph air mendekati 7. Atau gunakan indikator manual, yaitu tunggu sampai muncul kehidupan air oleh berbagai serangga. Bila kehidupan air sudah muncul dan sangat banyak, berarti air sudah siap juga untuk kehidupan ikan. Bahkan kalau mungkin sediakan bak khusus untuk menampung kotoran ternak, direndam dengan probiotik kolam dan di tutup terpal. Ini yang dimaksud dengan komposting basah. Bila sudah matang (biasanya minim 3 minnggu), bisa dimasukkan kolam untuk menambah sediaan organik. Pendekatan ini sangat logis. Berapa banyak bahan organik yang diberikan ke kolam, sangat signifikan menurunkan besarya kebutuhan kosentrat. (Manggar Kesuma Ayu, Aktifis LKPS ”Bhakti Nusa” Jombang)

Tentang Perikanan Organik

Dalam dunia pertanian ada mainstrem baru tentang konsep organik, atau lengkapnya pertanian organik. Ini artinya apa yang pernah menjadi organ hidup terutama produk sisa panen (limbah sawah) masuk ke sawah sebagai sumber pupuk. Untuk ini dikenal konsep komposting atau bokasi, sebuah model pembuatan bentuk sederhana dari humus. Wacana yang berkembang kemudian, pertanian oragnik adalah pertanian dengan basis kompos.

Tetapi mari kita kritisi. Dibutuhkan jasad renik (mikrooragnisme) untuk membuat kompos. Untuk ini lebih tepat menyebut pertanian organik sebagai pendekatan mikrobiologi untuk pertanian. Ini tidak berlebihan.

Karena di tanah, sebenarnya sudah ada komplek mikroorganisme yang dikenal dengan biota tanah. Peran biota tanah adalah melakukan dekomposisi (penguraian) dan fermentasi (pembusukan). Biota tanahlah yang ”bau rekso” kehidupan dalam tanah.
Kesuburan dan tingkat hasil panen, tergantung kita pintar-pintar mengelola yang ”bau rekso” tanah itu. Sejauh ini petani belum berpikir ke arah itu. Seolah, hasil panen tergantung dari pola garap dan jumlah pupuk yang diberikan. Sejalan dengan ini, pertanian organik bukan pertama-tama menambah kompos tetapi lebih luas dari itu adalah memperkuat basis dari biota tanah (lihat rantai makanan).

Bila di pertanian ada mainstrem dengan pengembangan pola organik, apakah ini juga bisa dikembangkan untuk managemen kolam ikan. Ada kesamaan prisnsip antara kolam ikan dan sawah, baik kebutuhan mikroorganisme probiotik maupun bahan organik (kompos). Jangan lupa, sumber pakan ikan di kolam alam adalah bahan organik, yang kemudian diurai oleh mikroba probiotik menjadi plankton. Dengan analogi sepotong ini, perikanan organik bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Bis Beton, Regulator Ekosistem Kolam Ikan

BIS beton adalah bahan dari pasir, kerikil dan semen yang berbentuk bulat, panjang biasanya 1 (satu) meter dan diameter bisa 20 cm, 30 cm atau lebih. Ketebalan antara 2 -3 cm, yang biasanya dibuat untuk saluran air. Orang banyak menyebutnya sebagai gorong-gorong. Apa yang lebih dari alat bangunan yang harganya sekitar Rp 35 000 ini. Sangat menarik, karena bis beton ini dilirik Dr Sugeng sebagai fasilitas yang teramat vital untuk kolam ikan yaitu menjadi regulator ekosistem. Fasilitas tambahan kolam ini berfungsi sebagai tempat perindukan dan perlindungan mikroorganisme. Kalau toh tidak ada gorong-gorong, cari fasilitas apa pun yang kira-kira bisa berfungsi sama.

Bila jasad renik (probiotik kolam) menjadi pilihan untuk regulasi ekosistem di kolam, itu berarti kita piara dua makluk hidup di kolam selain ikan.
Masalah yang pokok adalah menyediakan tempat tinggal untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Faktanya jasad renik ini rentan terhadap panas, selain ada sebagian yang butuh suasana anaerob (tidak butuh oksigen). Karena itu dibutuhkan fasilitas yang berdinding tebal dan tertutup rapat. Bis beton menjadi kriteria terpilih, selain karena tebal tidak tembus panas juga mudah didapat. Toko-toko bangunan, biasanya menyediakan fasilitas ini.

Gorong-gorong bisa terpasang berdiri atau tidur di dasar kolam. Bila berdiri, tutup atas diberi spon dan dipasang tutup (bisa keramik) kemudian diberi beban semisal batu bata. Bila tertidur di kedua ujung dipasang tutup. Sebaiknya tiap kolam ikan dipasang satu tertidur dan satu berdiri. Tetapi jangan lupa memberi lubang kecil, 15 Cm dari dasar air bila berdiri atau lubang di atas bila ditidurkan.

Bakteri probiotik (mikroba) kolam sebaiknya diberikan malam hari. Ini untuk menghindari paparan panas matahari (mikroba bisa mati bila kena sengatan panas). Kurun waktu semalam, mikroba sudah berkembang dan beranak-pinak jadi jutaan dan bahkan milyaran. Sebagian dari mikroba ini akan masuk dalam lubang bis beton.

Ketika siang hari, air yang terpanggang panas matahari membunuh mikroba hidup di air kolam. Tetapi, yang tersembunyi di bis beton akan selamat. Malam hari, melalui lubang bis beton, ia berkembang lagi sepanjang air kolam. Waktu singkat dalam kurun suhu optimum di malam hari sampai pagi, adalah waktu cukup untuk berkembang, bekerja meregulasi air kolam dengan mengurai semua sisa pakan atau kotoran ikan. Peran penting probiotik kolam, seperti telah disebut, untuk menghambat pembusukan, mengurai bahan organik komplek di kolam menjadi sesuatu yang produktif di kolam.

FASILITAS VITAL

Bis beton jadinya fasilitas yang vital di kolam atau boleh dikata menjadi regulator ekosistem, yaitu sebagai tempat perindukan dan perlindungan mikroba probiotik. Dalam praktek, bisa dibandingkan kolam yang mendapat perlakuan pemberian mikroba probiotik dengan yang tidak diberi. Kemudian bandingkan kolam dengan pemberian probiotik ditambah fasilitas bis beton dan yang tidak mendapat perlakuan.

Pengalaman, pemberian mikroba probiotik dengan penambahan bis beton adalah yang paling baik. Ekosistem kolam benar-benar hidup, yang ditandai dengan jaminan kolam tidak berbau, angka kematian yang limit, pertumbuhan ikan yang lebih cepat, penurunan kebutuhan kosentrat, dll. Jadinya tidak harus pelit menambah fasilitas gorong-gorong untuk kolam ikan, bila tidak mau memetik kerugian yang lebih besar.

Soal ganti air bisa jadi cerita tersendiri. Bukan saja tidak diperlukan penggantian air, malah kalau bisa air kolam jangan sampai terbuang. Usai panen, air kolam bisa dimanfaatkan kembali untuk memulai kolam baru. Air yang sudah stabil untuk hidup ikan, dari aspek fisika, kimia dan biologi sudah memenuhi standart untuk kehidupan ikan. Dengan konsep irit air ini, tidak ada alasan tidak berkolam di daerah yang sulit air. Penggantian air baru, justru membuat ikan mabuk dengan tingkat kematian tertentu karena butuh penyesuaian baru. Bila air kolam harus dibuang, hendaknya dipikirkan untuk dibuang ke sawah. Karena air kolam sangat signifikan diperhitungkan sebagai pupuk organik cair. Ini sesuatu yang belum dipikirkan oleh para petani kolam.

Bila fungsi regulator hendak ditingkatkan, hendaknya di kolam ditambah tanaman air. Bahan-bahan yang tidak produktif untuk kolam bisa dinetralisir oleh tanaman air. Untuk ini pilih tanaman air yang berguna seperti kangkung. Bukan saja ia berfungsi untuk regulator hidup, tetapi juga meningkatkan pendapatan kolam. Jangan lupa bahwa ini adalah tanaman organik. Dan bila jumlahnya cukup, bisa diservikasi dengan ternak kelinci. Jadi bertenak kolam ikan, bisa penen tambahan yaitu sayur kangkung dan kelinci. (Manggar Kesuma Ayu, aktifis LKPS ”Bhakti Nusa” Jombang)

Kolam Ikan Tanpa Ganti Air
Oleh Manggar Kesuma Ayu


RUBRIK Ragam Suara Merdeka 1 Mei 2009, menurunkan tulisan tentang ”Kolam Terpal untuk Lele Dumbo”. Sangat menarik, karena memberi wacana bahwa berkolam ikan bisa dibuat mudah, selain murah. Pengalaman kita juga demikian. Yang agak mengganggu adalah sub judul tentang ”Rutin Mengganti Air”. Ini masalah klasik yang tidak sederhana, pekerjaan melelahkan yang membuat orang ragu untuk masuk dunia kolam ikan. Fakta di lapangan, bengkaknya biaya operasional antara lain terlahir karena rutinitas penggantian air.

Kolam ikan dengan rutin ganti air, petunjuk pendekatan kolam masih konvensional. Orang masuk dunia kolam ikan biasanya latah karena orang lain berhasil bermain ikan. Mereka berpikir terlalu simpel bahwa kolam ikan hanya menyangkut penyediaan bak air (bisa kolam tanah, beton atau terpal), ikan dan pakan dari kosentrat. Alih-alih membayangkan panen, ternyata menuai kegagalan. Hasil produksi tidak sebanding dengan melambungnya biaya produksi. Kenyataan ini yang membuat tidak sedikit dari para pelaku kolam ikan yang akhirnya membiarkan bak kolamnya kosong, untuk tidak menyebutnya sebagai bangkrut dengan investasi yang percuma.

Menyebut masalah yang muncul dari pola kolam konvensional antara lain adalah : 1) Kolam bau busuk. Ini terjadi karena polusi dari pembusukan kotoran ikan, selain dari sisa pakan ikan yang tidak termakan. 2) Angka kematian tinggi. Ini akibat tingginya polusi air kolam. 3) Biaya pakan tinggi. Pakan biasanya tergantung dari kosentrat. Ada postulat input pakan = out put daging ikan. Pola ini rentan terhadap perubahan harga pasar, yaitu ketika harga ikan turun atau pakan naik. 3) Bea operasional tinggi. Rutinitas ganti air untuk atasi polusi, berakibat bengkaknya bea operasional yang terkait dengan bea listrik, bahan bakar dan tenaga kerja. 4) Surplus pendapatan minim (kalau tidak malah gagal panen - rugi)

Mari kita belajar dari dari kolam ikan alam seperti di sungai, laut, rawa-rawa atau danau. Secara sepesifik, di tempat-tempat ini ada air tergenang. Ada jumlah ikan dengan variasi cukup dan bahkan ada yang sangat besar seperti ikan paus. Yang menarik, siapa yang pernah menebar bibit, memberi pakan dan yang mengganti air. Bila ada penggantian air, menunggu hujan turun di mana mata air mengalir dan air hujan menyentuh sudut-sudut rawa dan laut. Ada yang luar biasa dari kolam alam buatan pemilik langit ini, yaitu bahwa adanya ekosistem yang hidup. Sudah barang tentu, yang kurang dari kolam konvensional, karena para pengkolam tidak pernah memasukkan kosep ekosistem dalam pola kolam ikan mereka.

EKOSISTEM BUATAN

Konsep ekosistem kolam, ini yang sering dilontarkan seorang Dr. Sugeng Hariadi, S.Pd alumnus Fakultas Kedokteran Undip yang konon juga pernah kuliah di IKIP Semarang. Menurut Ketua LKPS ”BHAKTI NUSA” Jombang ini, bila ekosistem kolam ikan hidup, dapat memberi solusi terhadap persoalan kolam ikan hingga layaknya di sungai dan laut. Tidak berbau, angka kematian yang nyaris limit, tidak perlu ganti air, pernurunan bea kosentrat dan tentu, keuntungan hasil panen yang ok.

Apa yang disampaikan Dr Sugeng bukan isapan jempol. Percobaan demi percobaan yang dilakukan di laboratorium kolam miliknya di dusun Sidokampir – Sumobito – Jombang, memberi konklusi bahwa ekosistim buatan adalah sesuatu yang vital dalam pengembangan kolam ikan. Untuk ini, kolam ikan miliknya diberi fasilitas bis beton, yang menurutnya, berfungsi sebagai regulator ekosistem (baca : Bis Beton, Regulator Ekosistem Kolam Ikan).

Dasar berpikirnya adalah pelajaran biologi waktu di sekolah menengah, tentang konsep rantai makanan, yaitu hubungan antara produsen – konsumen dan bakteri pengurai (produsen di makan konsumen, kunsumen mati membawa bakteri pengurai yang dapat meningkatkan kesuburan dan menjadi basis kehidupan konsumen). Rantai makanan ini menjelaskan bahwa bakteri pengurai harus dilihat sebagai komponen dari proses produksi. Tetapi salah kita, bakteri pengurai tidak pernah kita dilibatkan dalam proses produksi.

Adakah seorang petani yang berpikir memperkaya biota tanah (kehidupan dalam tanah) dengan aplikasi mikrobiologis dalam proses pengolahan tanahnya, demikian Dr Sugeng sering mengatakan. Peran bakteri pengurai sangat besar, khusunya dalam proses dekomposisi dan fermentasis bahan organik (baca : Tentang Perikanan Organik). Untuk kolam ikan, bakteri pengurai mengambil peran dalam mengurai kotoran ikan dan sisa makanan yang tak termakan. Kandungan organik komplek pada kotoran ikan dan sisa pakan, akan diurai menjadi unsur-unsur organik yang selanjutnya unsur organik akan merangsang tumbuhnya plankton (makanan alamiah ikan). Dengan kata lain, bakteri pengurailah yang meregulasi ekosistem kolam alam.

Aplikasi mikrobiologis (probiotik kolam) akhirnya menjadi pilihan solusi untuk kolam ikan. Kotoran ikan dan sisa pakan yang tidak termakan, yang berpotensi menjadi polutan bisa diubah menjadi sesuatu yang produktif untuk kolam. Pada kolam alam, selagi masih ada orang yang mau buang hajat di sungai, atau dalam jumlah tertentu bahan organik lainnya seperti sampah pertanian, kelangsungan ikan di sungai dan di laut akan kebutuhan pakan akan terjamin. Rutinitas mengganti air kolam memang bisa menjadi pilihan. Tetapi ini akan meningkatkan bea operasional. Andai logika kolam ikan bisa menisbikan rutinitas ganti air, margin keuntungan berkolam ikan dipastikan akan jauh lebih besar.

Daftar-daftar probiotik pada MKA-3 Biodekomposer

lactobacillius sp
acetobacter sp
bacillius cereus
bacillus globiporus
bacillius alvei
pseudomonas aeruginosa
pseudomonas mallei
azetobacter chroococcum
saccharomyces sp